SEJARAHPERKEMBANGAN TASAWUF DARI ZAMAN KE ZAMAN "Sejarah para Sufi dari zaman Nabi Muhammad S.A.W sampai abad ke-9" 1. Tasawuf di masa Nabi Muhammad S.A.W. Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam baik sebagai penyampai risalah dan juga teladan sempurna bagi kehidupan manusia. Oleh karenanya pastilah beliau juga merupakan tokoh
Beliperkembangan tasawuf dari abad keabad - hamka di buku - jayacahaya. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Website tokopedia memerlukan javascript untuk dapat ditampilkan.
Tasawufmerupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, yang berasal dari intuisi beberapa cendekiawan islam saat itu, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu
Ahad 29 Julai 2018. PERKEMBANGAN PERUSAHAAN GETAH. PADA ABAD KE-19 DAN 20. oleh-AHMAD BIN YAAKOB. 1.Keperluan getah sebagai bahan mentah. Keperluan getah sebagai bahan mentah semakin meningkat setelah tayar angin dicipta oleh J.B Dunlop pada tahun 1988.Kemajuan teknik vulcanization oleh Charles Goodyear 1893, pertumbuhan industri elektrik dan
Kelahirantasawuf memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.
IrMhIYJ. article{Santosa2023SEJARAHPM, title={SEJARAH PERKEMBANGAN MAKANAN INDONESIA DARI ABAD KE 10 HINGGA MASA PENDUDUKAN JEPANG}, author={Yusuf Budi Prasetya Santosa and Hendi Irawan}, journal={JURNAL PENELITIAN SEJARAH DAN BUDAYA}, year={2023} }Sejak dahulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang hebat dalam mengolah makanan. Hal ini dapat dilihat dari keragaman makanan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Keragaman makanan Indonesia telah ada sejak abad ke-10. Perkembangan makanan di Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan asing yang datang silih berganti, mulai dari India, Cina dan Eropa Portugis, Spanyol dan Belanda. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan jika keanekaragaman makanan Indonesia memiliki sejarah⌠22 References[A history of food].A. WyczaĹskiHistoryActa Poloniae historica1999A history of food writer's guide to how to pick the book in various file kinds as well as media, which can be excellent resource for Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2 Jaringan Perdagangan Global2011Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XX Pertama2000
Sejarah Perkembangan Tasawuf 1. Benih tasawuf pada masa Nabi Muhammadd SAW Hidup sufistik, secara tradisional dan historis sudah terdapat pada masa Nabi. Sehari-hari Rasulullah beserta keluarganya selalu hidup sederhana dan apa adanya, di samping beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah dan berjihat dalam mendekati Tuhannya. Bukhari menceritakan, bahwa Rasulullah sendiri menegaskan,â kami adalah golongan yang tidak makan kecuali kalau lapar, dan jika kami makan, maka tidaklah sampai kenyang.â Pada lain kesempatan Rasulullah juga bersabda,âkefakiran adalah kebanggaanku.â Dari kenyataan historis di atas, nampak jelas bahwa kehidupan sufi sudah ada sejak zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Namun perilaku keshalihan dan kezuhudan itu memudar dan hilang pada masa kekhalifan bani umayyah yang secara licik merebut tahta dari rakyat. Demikian kesaksian al-Kharraz, seorang sufi terkemuka abad k-3 H/ke-9 M. Tradisi-tradisi sufistik itu dapat kita telaâah dan kita peroleh dari kumpulan khutbah para sahabat, terutama Umar bin al-Khattab, dan yang paling masyhur adalah kebijakan Ali Nahj Al-Balaghah Path of Elloguence yang mengemukakan prinsip tauhid-sufistik. 2. Munculnya Madzhab Sufi Sejarah sufi dipengaruhi oleh dua pikiran, menurut alam pikiran yang berkembang dalam zaman tabiâin. Gerakan sufi terpecah menjadi dua madzhab, sebagaimana aliran-aliran lain dalam islam. Yang satu berpuasat di Basrah sebagai pusat pemerintahan bani umayyah, dan yang satunya lagi berpusat di kuffah, simbol dari kediaman keturunan Ali jalur Hasan dan Husain. Orang-orang Arab di Basrah yang berasal daribangsa tamimi memiliki pembawaan realis dan kritis dalam car berpikir. Gemar terhdapp logika dalam kupasan ilmu bahsa, realis dalam bersair, kritis dalam kupasan hadist, dengan jiwa mu;tazilah dan qodariyahnya dalamm dogmatika. Sedang orang-orang arab di kuffah berasal dari suku bangsa yamani, berpembawaan idealis dan tradisionalis gemar mendalami ilmu bahasa, plato dalam syair, pengikut nadzhab Zhahiri dalam hadist, dengan jiwa syiâah dan murjiâah dalam dogmatika. Mereka mendapatt guru Rabiâ bin Khaisam w. 686, Abu Israil Mulaâi w. 757, Jabir bin Hayyan, Kulaib al-Saidawi, Mansur bin Ammar, Abul Athahiyyah dan Abdak. Ketiga guru terakhir menghabiskan umurnya mengajar di Bagdad yang menjadi pusat gerakan mistik islam sesudah tahun 864 M. Zaman itu merupakan suatu masa pertemuan yang pertama kali antara ilmu tasawwuf dan agama, masa perdebatan secara terang-terangan antara ahli sufi dan para ahli ilmu fiqih, perdebatan antarr Zun Nun al-Mishri W. 854 dengan Nuri dan juga antara Abu Hamzah dengan al-Hallaj, yang di lakukan di hadapan qadhi hakim di Bagdad. 3. Masa Perkembangan Ajaran Sufi Abad 2-9 H/8-15M Era pembentukan ajaran, era pengembangan, era purifikasi doktrin sufi atau era pemantapan doktrin pemurnian 1, dan era purifikasi tradisi sufi yang disebut juga era Neo-sufisme pemurnian 2 pada sisi lain sejaran sufi juga mencatat adanya era kejayaan sufi yang berlangsung sejak abad ke-1 sampai abad ke-9, dan era runtuhnya kejayaan sufisme dari akhir abad ke-9 sampai ke abad 12H. Sementara abad ke-13 samapai awal abad ke 15 saat ini, merupakn era harapan barubagi sejarah sufi, walaupun belum bisa di petakan secara tegas. Tadayyun atau tujuan beragam, yakni melaksanakan peraturan keagamaan secara disiplin dan menyatu dengan kejiwaan dapat terlaksana dengan baik pada masa Nabi, serta masa HulaâurRasyidin yang awalmasa Abu Bakar dan Umar. Masa itu di identikan sebagi era kegemilangan dan kejayaan Islam, dan juga merupakan suatu kurun waktu yang di idealisasikan sebagai era pucakal_shalaf al-shalih dimana secara keseluruhan era ini berlangsung sampai abad ke-3H, era Nabi, era Sahabat, Tabiâin dan Tabiâ al-Tabiâin. Saat keemasan tersebut berakhir dengan dibunuhnya khalifaf Utsman. Peristiwa itu yang mengawali terkurasnya terkurasnya tenaga umat Islam hanya untuk memikirkan perpecahan intern umat Islam, dan menjadi preseden awal tentang kerusakan akhlak dan tidak lagi meresapnya nilai tauhid dalam kehidupan keagamaan. Kondisi ini diperparah dengan berbagai kejadian pada masa Ali bin Abi Thalib dengan perseteruan politik dengan Muawiyyah, perang Shiffin, kondisi di Nahrawan, fitna Ibnu Zubair, model pemerintahan Bani Umayyah yang otoriter dan berubah menjadi kerajaan serta masalah-masalah lainya. Pada abad ke I H paruh kedua, lahir tokoh sufi Hasan Al- Bashri dengan membawa ajaran khauf dan rajaânya. Sejak itu muncullah benih-benih sistematisasi tasawuf besreta garis-garis besar mengenai jalan thariq penempuhan sufi yang sudah kelihatan disusun. Ini disusul kemudian pada abad I dengan tampilnya Rabiâah Al-Adawiyah yang terkenal dengan ajaran hubb cinta Illahinya. Corak kezuhudan itu ditandaskan lagi serta dikembangkan secara intensif pada abad ke II, terutama didorong oleh suasana politik yang sangat mendominasi kehidupan masyarakat, serta adanya kecenderungankehidupan pejabat yang materialistis dan individualis. Era pengembangan terjadi pada abad ke-3 dan ke-4 abad-abad ini, tasawuf sudah bercorak kefanaan yang menjurus kepada doktrin kebersatuan. Persoalan latihan ruhani yang bisa membawa kepada Tuhannya menjadi mengemuka. Pada era abad ke-4 inilah juga terdapat periode penting dalam gerakan tasawuf amaly, atau thariqoty. Al-Hujwiri al âfarisi yang menulis pada pertengahan abad ke-5/ ke-11 menyatakan tak kurang dari 12 âsekteâ tasawuf, 10 yang dinyatakan ortodoks muâabar, sedang yang 2 bidâah. Pada abad ke IV ini muncul juga kitab risalah umum yang palint tua dan masih bertahan hingga sekarang, yakni Al-Lumaâ, karya Abu Nashr al-Saaraj w. 378/988. Di dala kitab itu, kita akan dikenalkan dengan tokoh sufi teosofis,Abu Thalib a-Makki w. 386/996 yang semasa dengannya, yang menulis kompendium berbahasa arab mengenai ujaran-ujaran ulamaâ sufi, dalam kitab termasyhur Qut al-Qulub pembekalan hati yabg di bandang sebai kitab perintis dan berhasill dalam membangun gagasan menyeluruh sufisme. Era purifikasi doktrin sufi atau era pemantapan doktrin pemurnian 1, terjadi pada abad ke 5 H. Pada masa ini terjadi kompetisi antara tasawuf yang berbau filsafat dengan tasawuf model kaum sunni permulaan. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan, sedangkan tawanannya tenggelam dan kemudian muncul kembali pada abad ke-6. Pada masa ini kita saksikan tesawuf berdiri kokoh dan menyebar luas di segenap penjuru dunia muslim. Tokoh-tohoh tasawuf ini adalah Al-Qusyairi, Al-Hujwiri, danAl Ghazali.. Sedangkan era purifikasi tradisi sufi yang disebut juga era Neo-Sufisme pemurnian II terjadi pada awal-awal abad pada era ini di tandai dengan corak falsafy, yakni kompromi serta pemakaian term-term filsafat yang disesuaikan dengan tasawuf. Tokoh-tokoh corak falsify ini antara lain, Muhyidin Ibnu Al-Arabi; Syuhrawardi Al-Maqtul; dan Ibnu Syibâin. dari embrio itulahordo-ordo sufi berkembang, yang pada abad ke-6 mengkristal dalam bentuk pelembagaan thariqat sufi. Seiring dengan makin berkibarnya sufi-thariqoh, sebenarnya mulai pertengahan akhir abad ke-9, dunia tasawuf berada di ambang pintu yang mengkhawatirkan, sebab padad abad ini, hingga abad ke-13, bahkan akhir abad ke-14 , sufisme islam yang dulunya cemerlang dan mampu membawa pencerahan masyarakat muslim, yang mengharumkan agama terakhir iniengalami degradasi, baik kuantitas maupun kualitasnya. 4. Masa-masa runtuhnya tasawuf Dalam sejarah peradaban Islam, abad ke-9 sampai abad ke-12 H dikena lsebagai era kevakuman dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pemikiran Islam, dan perkembangan tasawuf ini. Keruntuhan sufisme de sebabkan adanya kolaborasi penguasa dengan para sufi. Kebrobokan moralitas intelektual dan moralitas spiritual itu terjadi merambah hampir di seluruh dunia Islam, yang sebagiannya di akibatkan karena kekalahan Islam dalam perang Salib, dan pengaruh kolonialisme yang mulai merambah seluruh dunia. Penyimpangan tasawuf banyak terjadi, atau masih ada sebagian yang konsisten dengan menggunakan tasawuf sebagai alat jihad. Pada abad ke-9 H, lahir tokoh ulama besar tasawuf, Syaikh Naqsyabandi Bahauddin Muhammad bin Muhammad Al-Uwaisy Al-Nukhari yang kemudian mendirikan thariqath Nasabandiyyah, yang cukup berpengaruh di Asia dan Afrika. 5. Taswuf di Dunia Modern Pada abad ke-19, 20, dan sampai awal abad ke-21 ini, terdapat banyak kaum Muslim yang berusaha membangkitkan kembali ajaran-ajaran dan praktek Islam otentik, bukan sekedar untuk menghadapi dominasi politik dan kultural Barat. Hingga sekarang, sebagian besar pengamat Barat masih menganggap kaum pembaru jenis ini sebagi harapan Islam untuk memasuki abad modern. Akan tetapi, dewasa ini, hancurnya identitas budaya Barat dan bangkitnya kesadran tentang akar-akar ideologisdari gagasan-gagasan seperti kemajuan dan pembangunan sudah membuat kaum modernis fanatik semakin ter;liat naif, seklipun tidak berbahaya Sementara itu banyak guru sufi yang berusah sekuat tenaga untuk membangkitkan warisan Islam dengan memuasatkan perhatian pada apa yang mereka pandang sebagai penyebab seluruh kekakcauan , yakni sikap melupakan Allah. Dewasa ini, umat Islam tampaknya lebih bayak memperoleh isnspirasi dari guru-guru sufi daripada kaum intelektual moderniis, yangtelah tercerabut dari massa karena latar belakang akademis Barat mereka. Sejalan dengan kebangkitan tasawuf di dunia Islam adalah tersebarnya ajaran-ajaran sufi di Barat. Tasawuf spiritualis-0batiniah diperkenalkan pada awal abad ini oleh para guru musisi India, Inayat Khan. Ajaran-ajarannya kemudian di teruskan oleh putranya Pir Vilayat Inayat Khan, guru bagi kelompok Neww Age semacam Fritjof Capra dan sebagainya. Di Perancis, tasawuf umum diterima secara luas di kalangan kaum intelektualmelalui tulisan-tulisan seorang matematikawan yang kemudian beralih mjenjadi metafisikawan, Rene Guenon, juga dikenal sebagai Syaikh Abd Al-Wahid. Selain itu, masih banyak terdapat guru-guru sufi kontemporerlain seperti Syeikh fadhallah Haeri, atau Feisal Abdul Rauf. Merekalah sebagian dari yang tetap berjuang menjadi suluh atau obor sufi di tengah kegelapan kehidupan modern dewasa ini. Sumber Tasawuf Aktual. Muhammad Sholikhin. SemarangPustaka Nuun. 2002
Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan sufi terkenal pada abad kelima Hijriyah A. Pendahuluan Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu dalam Islam yang menekankan pada aspek spiritual dan kebersihan batin. Dalam kaitannya dengan diri manusia, tasawuf adalah ilmu untuk mengelola aspek rohaninya yang lebih sering disebut dengan hati atau qalbu. Dalam kaitannya dengan kehidupan, ilmu ini mengarahkan manusia untuk lebih memprioritaskan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. Sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, tasawuf lebih cenderung mengkaji aspek esoterik dari pada eksoterik, lebih menekankan penafsiran bathiniyah dari pada penafsiran lahiriyah. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf melalui penjelasan secara sistematis dan umum. Di dalamnya disertai dengan nama-nama tokoh yang dihsilkan pada tiap-tiap fase perkembangan tasawuf. Dari pembahasan pemakalah, kami sadari masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, kapada para pembaca sangat diharapkan sumbangan pemikirannya demi tercapai kesempurnaan makalah ini kepada yang lebih baik lagi. B. Beberapa Anggapan Penyebab Kemunculan Tasawuf Kelahiran tasawuf atau sufisme sebagai sebuah ilmu diketahui memiliki banyak versi. Mengenai kemunculan tasawuf sendiri terdapat dua anggapan, yakni ada yang menganggap bahwa lahirnya ilmu tasawuf disebabkan karena adanya pengaruh ajaran di luar Islam, tetapi ada pula yang menganggap lahirnya tasawuf itu bersamaan dengan lahirnya agama Islam[1]. Masing-masing anggapan tersebut akan diulas di bawah ini. 1. Pengaruh Ajaran Non-Islam Diketahui lahirnya ajaran tasawuf karena adanya pengaruh dari ajaran-ajaran di luar Islam, antara lain a. Pengaruh ajaran Kristen, yaitu adanya tulisanâtulisan tentang rahib-rahib yang hidup menjauhi dunia dan mengasingkan diri di padang pasir Arabia atau menempati biara-biara. b. Pengaruh ajaran Hindu dan Budha 1 Ajaran Hindu banyak mendorong umatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhannya untuk mencapai Atman dengan Brahman. 2 Ajaran Budha tentang nirwana, untuk mencapainya seorang Budha diwajibkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki hidup kontemplasi. c. Pengaruh filsafat mistik phytagoras, yaitu kesenangan ruh yang sebenarnya adalah berada di alam samawi. Maka untuk memperolehnya, manusia harus membersihkan ruh dengan meninggalkan kehidupan material. Dalam tasawuf dikenal dengan zuhud. d. Pengaruh filsafat emanasi Plotinus. Dalam konsep emanasi dijelaskan bahwa Dzat Tuhan Yang Maha Esa-lah yang memancar dari dalam wujud ini. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Dalam tasawuf dikenal dengan wahdatul wujud[2]. 2. Lahirnya Tasawuf Bersamaan dengan Lahirnya Agama Islam Anggapan yang kedua adalah bahwa tasawuf atau sufisme itu lahir dari agama Islam sendiri. Hal ini bisa dlihat dari ayat Al-Qurâan maupun hadits tentang ajaran tasawuf. Misal dalam surat Al-Baqarah ayat 115 yang artinya, Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui. Al-Baqarah 115 Dalam ayat lain Allah juga menerangkan, âTelah Kami ciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan olehnya. Kami lebih dekat kepada manusia ketimbang pembuluh darah yang ada pada lehernyaâ. Qaaf 16. Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari juga disebutkan hal serupa, yang artinya âJika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta, jka ia medekati-Ku sehasta, niscaya Aku akan mendekatinya sedepa, dan jika ia mendekati-Ku datang dengan berjalan, niscaya Aku akan mendatanginya dengan berlariâ. Selain dalil diatas, masih banyak lagi ayat Qurâan maupun hadits yang dijadikan dasar tasawuf oleh para sufi. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pengaruh dari luar atau tidak, Islam sendiri mengajarkan sufisme. Ini berarti kelahiran tasawuf bersamaan dengan lahirnya Islam sendiri[1]. C. Masa Perkembangan Tasawuf Hidup kerohanian yang dalam Islam sering disebut dengan sufisme ini nampak melekat pada diri sebagian umat Islam di seluruh dunia. Tentu saja kehidupan seperti ini tidak lepas dari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya hingga terbentuklah ilmu tasawuf pada saat ini. Dari beberapa literatur yang ada, disebutkan bahwa sufisme Islam dimulai pada abad pertama Hijriyah, yang mana pada masa itu Rasulullah Saw masih hidup, yang segala kehidupannya cukup membawa arti penting dalam terbentuknya tasawuf ini. Perjalanan tasawuf ini pun kemudian dilanjutkan pada masa-masa selanjutnya hingga abad ketujuh Hijriyah. Adapun lebih jelasnya akan diterangkan berikut ini. 1. Tasawuf Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah Masa Rasulullah Saw, Para Sahabat, dan Tabiin a. Tasawuf Masa Rasulullah Saw Pada masa ini banyak ditemui contoh-contoh kehidupan sufi yang terdapat pada diri Rasulullah Saw. Dalam kehidupan beliau sehari-hari yang penuh dengan kehidupan yang sangat sederhana dan penuh dengan penderitaan, juga beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah Swt. Sebelum diangkat sebagai Rasul, beliau sering melakukan khalwat di Gua Hiraâ Bukit Nur untuk mendapat petunjuk dari Tuhan. Didapati beliau melakukan khalwat berulang-ulang kali dengan bekal hanya beberapa potong roti kering dengan air minum serta buah-buahan yang hal ini menggambarkan makanan yang sangat sederhana bagi seorang sufi. Di tempat itu, beliau mengasingkan diri uzlah dan memisahkan diri infirad dari masyarakat Quraisy yang sudah rusak dan menyimpang dari ajaran Tuhannya. Beliau ingin mencari kehidupan yang berbeda dengan kehidupan orang-orang Quraisy tersebut menuju suatu kehidupan yang membawa kepada kesempurnaan dan kebahagiaan dunia akhirat. Maka dari itu, beliau hendak bertemu liqaâ dengan Allah dan ingin meminta petunjuk kepada-Nya. Setelah beliau mendapat petunjuk melalui malaikat jibril, maka mulailah beliau mengajak manusia agar berusaha menyempurnakan kehidupannya dan harus memiliki pribadi yang baik dan akhlak yang luhur demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat yang disebut dengan saâatud daraini. Kemudian setelah beliau diangkat sebagai Rasul dan telah menjabat sebagai pemimpin atau kepala negara di Madinah, kehidupan beliau juga nampak sederhana sekali. Dalam rumah tidak ada perabot rumah tangga yang mewah, makanan yang enak, dan jarang terdapat alat-alat rumah tangga. Untuk urusan makan, jangankan makanan yang lezat, makanan yang biasa dimakan sehari-hari belum tentu tersedia pada setiap waktu makan. Sayyidah Aisyah pernah mengatakan bahwa dalam sehari-hari Rasulullah Saw tidak pernah makan sampai dua kali dan paling banyak makanan yang tersimpan tidak lebih dari sepotong roti yang itupun dimakan oleh tiga orang. Diketahui pula beliau tidur di atas tikar sampai berbekas pada pipi beliau. Begitulah kehidupan sufisme dari seorang Rasulullah Saw, meski sebagai pemimpin untuk umat Islam, kehidupan beliau penuh dengan kesederhanaan. Hidup beliau digunakan untuk berkhidmat dan berbakti kepada Allah, menyampaikan agama Islam kepada seluruh umat manusia, tidak menghiraukan kepentingan diri sendiri ataupun keluarganya, namun seluruh hidupnya digunakan untuk umatnya[1]. b. Tasawuf Masa Para Sahabat Begitu halnya dengan para sahabat. Mereka para sahabat besar juga mencontoh kehidupan Rasulullah Saw. Pada era kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, semua kehidupan mereka penuh dengan kesederhanaan dan fokus perhatian mereka hanya tertuju kepada Allah dan berbakti kepada masyarakat. Para khulafaur Rasyidin yang dimaksud antara lain Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Masing-masing tasawuf yang dimiliki para sahabat Khulafaur Rasyidin akan dijelaskan secara singkat di bawah ini. Abu Bakar, adalah seorang saudagar yang kaya raya di Makkah, namun ia rela meninggalkan semua harta bendanya demi mengikuti dakwah Rasulullah Saw. Abu Bakar juga memiliki akhlak yang tinggi dan selalu hidup saleh dan taqwa. Pada masa kehidupannya hanya memakai pakaian sehelai kain saja. Bahkan segala harta bendanya dikorbankan demi kepentingan agama dan negara. Disebutkan dalam sebuah riwayat, pada saat Rasulullah Saw masih hidup yang ketika itu akan menghadapi perang Tabuk, beliau bertanya kepada para sahabat siapakah yang bersedia memberikan harta bendanya di jalan Allah. Abu Bakar kemudian menjawab bahwa dirinya akan menyerahkan seluruh harta kekayaannya. Kemudian setelah Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Bakar terkait sesuatu yang akan ditinggalkan untuk dirinya dan keluarganya, Abu Bakar menjawab bahwa cukup baginya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya. Umar bin Khattab, adalah sahabat Nabi Saw yang memiliki jiwa yang murni dan akhlak yang tinggi. Ada riwayat yang mengisahkan kehidupan sufisme Umar, yang semuanya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Yang pertama ketika Umar naik ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato, sedangkan pakaian yang ia pakai bertambal-tambal. Yang kedua, ketika Abdullah bin Umar masih kecil bermain-main dengan temannya, semua temannya tersebut mengejek karena pakaian yang dipakainya penuh tambalan. Hal tersebut akhirnya disampaikan kepada ayahnya, Umar bin Khattab, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala negara. Ayahnya pun sedih karena tidak memiliki cukup uang untuk membelikan baju untuk anaknya. Maka ditulislah surat kepada pegawai Baitul Mal untuk meminjam uang sebagai ganti pemotongan gaji bulan depan. Setelah menerima surat tersebut kemudian pegawai tersebut bertanya kepada Umar apakah yakin bahwa umurnya sampai bulan depan. Mendengar hal tersebut, Umar akhirnya tersedu sambil mengeluarkan air mata dan akhirnya tidak jadi meminjam uang di Baitul Mal. Dan masih banyak lagi cerita yang mengisahkan kehidupan Umar yang sangat sufistik tersebut. Utsman bin Affan, adalah sosok yang diberi oleh Allah kelapangan rezeki. Meski begitu ia tidak terlalu terpengaruh dengan kekayaannya. Ia selalu memegang Al-Qurâan pada tangannya. Menjelang malam hari ia hanya belajar Al-Qurâan sampai jauh malam. Bahkan ketika dibunuh oleh pemberontak, ia berada dalam membaca Al-Qurâan. Sifat sufisme yang dimiliki Utsman yang lain ialah, ketika terjadi kemarau panjang pada masa Khalifah Abu Bakar. Banyak penduduk Madinah yang menderita kelaparan karena stok makanan telah menipis. Abu Bakar hanya menyuruh sabar dan menunggu pertolongan dari Allah. Tidak lama setelah itu, ada kira-kira seribu ekor unta milik Utsman bin Affan datang dari Syam dengan membawa bahan makanan dan minyak. Setelah unta-unta tersebut berhenti di depan rumah Utsman, banyak pedagang yang ingin membeli barang dagangannya tersebut dengan berbagai macam tawaran, bahkan ada pedagang yang mengajukan tawarannya hingga sepuluh kali lipat. Akan tetapi Utsman hanya memerintahkan untuk mengumpulkan para fakir miskin pada keesokan harinya dan memberikan hasil dagangannya itu secara cuma-cuma. Begitupun dengan Ali bin Abu Thalib. Sifat kesederhanaannya tidak kalah dengan para sahabat yang lain. Ketika menjabat sebagai khalifah, pakaian yang ia pakai banyak yang sobek, dan ketika sobek ia sendiri yang menjahitnya. Suatu ketika ia ditanya seseorang mengapa sampai seperti itu pakaiannya yang sobek, ia hanya menjawab untuk mengkhuyukkan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang-orang yang beriman. Ada lagi sahabat yang terkenal zuhud selain para sahabat Khulafaur Rasyidin di atas, yakni Huzaifah bin Yaman. Abu Thalib Al-Makki dalam kitabnya Qutul Qulubâ pernah menerangkan bahwa Huzaifah mempunyai ilmu yang luas tentang akhlak serta mendalam keyakinannya tentang hikmah-hikmah agama bila dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Bahkan Umar dan Utsman selalu meminta pendapat-pendapatnya tentang suatu hal yang sulit dimengerti. Pernah ia ditanya darimana ia mendapatkan ilmu yang demikian itu. Huzaifah menjawab bahwa Rasulullah Saw memberikan keistimewaan kepadanya karena orang selalu bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedang dirinya selalu bertanya tentang kejahatan karena ia takut terlibat dalam kejahatan. Dari kisah sufisme para sahabat di atas, terutama dari sahabat Huzaifah, maka para sufi berpendapat ada hal-hal yang perlu disimpan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf. Karena tidak semua ajaran tasawuf boleh disebarluaskan kepada siapapun. Memang ada beberapa ajaran tasawuf yang tidak boleh diajarkan secara sembarangan kecuali kepada orang-orang yang dipilih dan dianggap telah layak untuk menerimanya, sebab Abu Hurairah pernah berkata Aku memperoleh dari Rasulullah Saw dua bejana ilmu pengetahuan. Satu di antaranya aku tanyakan kepada orang lain dan satunya lagi tidak aku tanyakan, dan kalau aku tanyakan niscaya leherku akan dipenggal orang Riwayat Bukhari[2]. c. Tasawuf Masa Para Tabiâin Ada dua tabiâin besar pada masa ini dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu tasawuf, antara lain Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, Sufyan Tsauri, Rabiâ bin Haitsam, Jabir bin Hayyan, Kulaib Ash-Shidawi, Manshur bin Ammar, Malik bin Dinar, Al-Fadhl Al-Ragassyi, Rabbaah bin Amr Al-Qisyi, Shalih bin Basyr Al-Murri, Abdul Wahid bin Zaid, Ibrahim bin Adham, Syaqiq Al-Balakhi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan disini. Namun yang paling popular di antaranya ialah Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, dan Sufyan Tsauri. 1 Hasan Basri Setelah era Huzaifah bin Yaman, kemudian disusul generasi sufi yang dipelopori oleh Hasan Basri. Hasan Basri belajar tasawuf kepada Huzaifah yang kemudian menjadikannya sebagai orang besar dalam perkembangan ilmu tasawuf, bahkan dianggap sebagai imam orang-orang sufi. Hasan Basri lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah atau 632 Masehi, dan meninggal pada tahun 110 H. Hasan Basri adalah salah seorang tabiâin yang terbesar dan ternama, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kesalehan dan kehidupan zuhudnya. Hasan Basri pula yang mula-mula membahas ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa. Dr. Hasan Ibrahim Hasan menerangkan dalam bukunya Tarikhul Islamâ, bahwa kehidupan tasawuf yang asli itu berada dalam kehidupan Hasan Basri. Hasan Basri pernah bertemu dengan 70 orang yang mengikuti perang Badar dan 300 orang sahabat yang lain. Hasan Basri memiliki kepribadian yang sangat menarik. Ketika kecil ia pernah mendapat pujian dari Ali bin Abu Thalib. Suatu ketika, Ali bin Abu Thalib masuk ke dalam masjid di Basrah. Dilihatnya banyak anak-anak sedang asyik bercerita di dalam masjid, maka Ali mendatangi mereka dan berusaha mengusirnya keluar masjid. Namun tiba-tiba ia mendapati salah seorang di antara mereka seorang anak yang tampan, yakni Hasan Basri. Hasan Basri pada saat itu sedang asyik bercerita, dan Ali sangat tertarik dengan ceritanya itu. Demi memelihara ketenangan dan ketenteraman dalam masjid karena ramainya anak-anak, maka Ali mengajukan pertanyaan kepada Hasan Basri, âHai anak muda! Aku ingin bertanya kepadamu dua perkara. Jika engkau dapat menjawabnya, maka aku akan biarkan engkau berbicara terus. Tetapi jika engkau tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, engkau akan kukeluarkan dari dalam masjid ini seperti anak-anak yang lainâ. Anak muda yang bernama Hasan Basri itu pun berkata, âSilakan bertanya wahai Amirul Mukmininâ. Kemudian Ali bin Abu Thalib pun bertanya, âCeritakan kepadaku apa kebaikan agama dan apa pula kerusakannya?â. Dijawab oleh Hasan Basri, âKebaikan agama itu adalah hidup waraâ, dan kerusakan agama itu adalah hidup tamakâ. Setelah dijawab demikian, maka Ali pun berkata, âEngkau benar, dan sekarang berbicaralahâ. Dasar ajaran tasawuf Hasan Basri adalah zuhud terhadap dunia, menolak kemegahan dunia semata-mata menuju kepada Allah, bertawakal kepada-Nya, khauf takut, dan rajaâ pengharapan. Masing-masing konsep atau dasar ajaran tasawuf Hasan Basri tersebut akan diuraikan berikut a Zuhud berarti hati tidak menyenangi dunia dan berpaling terhadap keindahan dan kemewahannya karena berbuat taat kepada Allah. Zuhud adalah suatu tingkatan jiwa yang tinggi, dan ini baru dapat dicapai apabila telah tertanam perasaan takut dan harap di dalam hati. b Takut khauf bukan berarti takut kepada Allah, namun takut akan terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan yang menyebabkannya mendapat murka Allah Swt. Pandangan inilah yang menyebabkan Hasan Basri bersedih hati, senantiasa takut dan gemetar, kalau ia tidak dapat mengerjakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak dapat menghentikan larangan Allah sepenuhnya karena digoda oleh syetan dan hawa nafsu keinginan. Dalam hal ini kadang-kadang orang merasa biarlah masuk neraka daripada kena murka. c Setelah merasa takut kepada kemurkaan Allah, maka ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan rajaâ. Kalau seorang manusia setelah berusaha memenuhi segala perintah Allah dan berusaha menjauhkan dirinya dari kejahatan, namun karena kelalaian dan nafsunya, ternyata masih mampu menyeretnya ke jurang kejahatan, manusia tidak boleh berputus asa, terus selalu menanamkan rasa harapan terhadap ampunan dari Allah Swt. Maka dari itu, tujuan pokok dari khauf dan rajaâ ialah ingin terbebas dari kejahatan dan ingin mencapai kebaikan dan ketaqwaan[1]. 2 Rabiatul Adawiyah Seorang sufi wanita yang besar pada masa ini juga ialah bernama Rabiah binti Ismail Al-Adawiyah, yang dikenal dengan nama Rabiatul Adawiyah. Menurut Ibnu Hilqan, Rabiatul Adawiyah wafat sekitar tahun 135 H/796 M. Ia dikenal sebagai seorang yang hidup saleh dan taqwa. Sepanjang hari ia menegakkan ibadah, seperti shalat dan berpuasa. Ia memiliki murid yang terdiri dari kaum wanita. Secara garis besar, konsep tasawuf Rabiatul Adawiyah dikenal dengan ajaran cinta mahabbah atau hubbulillah. Tingkatan zuhud yang tadinya dirintis oleh Hasan Basri, yakni zuhud karena takut kepada kemurkaan Allah dan mengharap kepada ampunan Allah, ditingkatkan oleh Rabiâatul Adawiyah kepada zuhud karena cinta. Cinta yang telah suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan harap, karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa[2]. Terkait konsep hubbulillah Rabiâatul Adawiyah ini akan diuraikan lebih rinci pada pemakalah berikutnya. 3 Sufyan Tsauri Sufyan Tsauri lahir pada tahun 97 H/602 M, dan wafat di Basrah tahun 121 H/732 M. Ia merupakan seorang ulama hadits yang terkenal dan seorang tabiâin yang sangat zahid dan tak tertandingi. Dalam hal meriwayatkan hadits, ia dijuluki sebagai Amirul Mukminin dalam hal haditsâ. Sifat beliau yang sangat kuat ialah tidak mau mendekati raja-raja. Ia hidup pada zaman khalifah Al-Manshur. Setelah menerima ilmu dari gurunya, Hasan Basri, ia pun mengembara dari sebuah kota ke kota lain untuk menerangkan intisari agama kepada murid-muridnya. Sufyan Tsauri pernah mengungkapkan perihal kesufiannya, bahwa jangan kau rusak agamamu dengan kemewahan dan kemegahan yang berlimpah ruah, karena hal itu akan menyebabkan umat Islam tenggelam dalam keduniawian, dan tidak dapat lagi dibedakan mana yang halal dan mana yang haram. Ia juga merasa tidak ada faedahnya berbicara kepada orang-orang yang bermulut manis kepada ulama, tetapi rakyat kian lama kian sengsara[3]. 2. Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah Tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefanaâan ekstase yang menjurus ke persatuan hamba dengan Tuhannya wahdat al-wujud. Orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan ittihad bi al-mahbub, kekal dengan tuhan baqaâ bi al-mahbub, menyaksikan tuhan musyahadah, bertemu dengan nya liqaâ dan menjadi satu dengannya ain al-jamaâ[1]. Lebih jauh Abu al-Wafa menegaskan, bahwa tasawuf pada abad ini lebih mengarah kepada ciri psikomoral, dan perhatiannya diarahkan pada moral dan tingkah laku. Sebab pada masa ini ilmu tasawuf terbagi menjadi tiga, yaitu Ilmu Jiwa, Ilmu Akhlak, dan Ilmu Metafisika. Ditambah pula bahwa demikian pesatnya perkembangan tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah ini, sehingga seolah-olah sudah merupakan madzhab, bahkan sebagai agama yang berdiri sendiri. Pada abad ini pula terdapat dua aliran yaitu tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi[2]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah Ada beberapa tokoh yang bergerak di bidang tasawuf dan kehidupannya berada pada kesufian pada abad ketiga Hijriyah ini, antara lain Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri, Abu Yazid Al-Busthami, Yahya bin Muaz, dan Al-Junaid. Sedangkan tokoh tasawuf pada abad keempat Hijriyah antara lain Al-Sari Al-Saqathi, Abu Hamid bin Muhammad Al-Rubazi, Abu Zaid Al-Adami, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab As-Saqafi, Abu Bakar Syibli, Abu Muhammad Al-Murtasi, dan Husain bin Mansuh Al-Hallaj. Beberapa di antara tokoh-tokoh sufi tersebut akan dijelaskan profil dan pemikirannya tentang tasawuf berikut ini. 1 Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri atau yang lebih dikenal dengan Zunnun Al-Misri, berasal dari Naubah, yakni daerah di antara Sudan dan Mesir. Ia wafat pada tahun 246 H/860 M. Ia adalah salah seorang murid Imam Malik dan boleh dikatakan bahwa ia adalah yang pertama kali menetapkan teori-teori di dalam ilmu tasawuf pada abad ketiga. Ia banyak sekali memperluas pemahaman tentang jalan menuju Allah. Tujuannya terkait ilmu tasawuf ialah bagaimana cara mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut akan berpaling jalan. Pernah ditanya oleh seseorang apa hakikat cinta itu. Zunnun Al-Misri menjawab, âBahwa engkau mencintai apa yang dicintai Allah, dan engkau membenci apa yang dibenci-Nya. Engkau memohon ridha-Nya, dan sekalian engkau tolak yang akan menghalangimu menuju Dia. Jangan takut akan kebencian orang yang membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya, karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri. Orang yang arif adalah bangga dalam kefakirannya. Apabila disebutnya nama Allah, ia merasa bangga, dan apabila disebut nama dirinya, ia merasa miskinâ. Mengenai konsep taubat, Zunnun Al-Misri mengungkapkan bahwa taubat terbagi menjadi dua macam, yaitu taubatnya orang awam, yakni taubat dari dosa, dan taubatnya orang khawash, yaitu taubat dari kelalaian. Demikian pula dengan konsep maârifat, olehnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu maârifat mukmin biasa muâminiin, maârifat ahli bicara mutakallimin dan hukamaâ, dan maârifat waliyullah yang dekat kepada Tuhan dan kenal akan Tuhan dalam hatinya muqarrabiin. Maârifat yang terakhir inilah setinggi-tingginya martabat[3]. 2 Abu Yazid Al-Busthami Abu Yazid Al-Busthami memiliki nama kecil Thaifur. Namanya sangat istimewa dan cukup melekat dalam hati orang-orang sufi. Al-Busthami pernah berkata, âKalau kamu melihat seseorang yang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana dia mengikut suruh dan menghentikan tegah dan menjaga batas-batas syariatâ. Meski perkataannya tersebut terasa sulit dimengerti, namun bisa ditangkap sebuah pengertian bahwa tasawuf yang diamalkan tidak keluar daari batas-batas syaraâ. Ada pula perkataannya yang terdengar ganjilâ dan dalam, dan seseorang termasuk kita harus berhati-hati dalam memahaminya. Karena bila salah dalam memahaminya, maka tentu akan menyangka bahwa Al-Busthami memilih jalan di luar ketentuan agama, atau minimal dia telah tersesat. Seperti konsep Hululâ yang olehnya dikatakan, âHamba dan Tuhan sewaktu-waktu bisa berpadu menjadi satuâ. Atau juga perkataan yang lain yang dikutip oleh Abdul Hamid Zahrawi dalam kitabnya Al-Fiqh wa At-Tasawwufâ, âTidak ada Tuhan melainkan saya. Sembahlah saya , amat sucilah saya. Alangkah besar kuasakuâ. Selanjutnya terkait konsep perjalanan menuju fanaâ, ia mengatakan bahwa, âPermulaan adanya aku di dalam alam wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya dari daimunah tetap dan kekal. Maka senantiasa aku terbang di udara kaifiyat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa kali. Maka senantiasa aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka terlihatlah olehku pohon ahdiyat âŚ.â. Pada akhirnya beliau berkata, âAkhirnya sadarlah aku dan tahulah aku, bahwa sama sekali itu hanyalah tipuan dan khayalan belakaâ. Kata-kata yang demikian itu disebut dengan Syathathat, artinya ialah kata-kata yang penuh dengan khayalan. Karena itu perkataan ini tidak dapat dikenakan hukum, sebab orang pada saat itu sedang dimabuk oleh fanaânya, bukan mabuk karena pengaruh alkohol. Perkataan yang tidak lazim tersebut inilah yang akhirnya memunculkan suatu istilah As-Sakarâ mabuk dan Al-Isyqâ rindu dendam[4]. 3 Yahya bin Muaz Yahya bin Muaz adalah seorang sufi yang sezaman dengan Abu Yazid Al-Busthami. Ia mulai memakai ilmu pengetahuan dalam menegakkan paham tasawuf yang kelak menjadi bahan penting bagi ahli-ahli tasawuf yang akan datang. Ia juga banyak sekali membicarakan tentang fanaâ, wajdan rindu, dan sakar mabuk. Pokok ajaran tasawufnya ialah melanjutkan dari tasawufnya Rabiatul Adawiyah yang masih berkaitan dengan cinta. Intisari cinta dalam tasawufnya ialah tunduk dan patuh secara bulat oleh Allah Swt. Ketundukan dan penyerahan yang membuat jiwa senentiasa mendorong hendak mencapai derajat yang tinggi. Mengenai maârifat, ia menambahkan dari dasar-dasar sufi yang ada, yakni mengenal yang haq yang lebih tinggi daripada mengenal sesuatu makhluk. Sedangkan lalai atau luput, ia mengemukakan bahwa lalai adalah terputus dari haq, sedangkan mati hanya terputus hubungan dengan sesama manusia. Untuk itu, lalai dari jalan menuju Allah lebih berbahaya daripada mati. Baginya, apabila hubungan dengan Tuhan telah ada, maka kematian itulah jalan yang sebahagia-bahagianya, sebab bertemu dengan kekasih. Zuhud menurutnya ialah memalingkan kehendak dari sesuatu kehendak kepada yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Maka zuhud ini terbagi menjadi tiga perkara a Sedikit, yaitu jangan terlalu banyak harta benda yang dimiliki, karena semuanya itu akan menghambat dalam perjalanan menuju Allah. b Khalwat merenung atau menyendiri, bertafakkur, yaitu tidak banyak bercampur dengan orang lain. Kalau terpaksa bergaul, maka duduklah dengan orang banyak. c Al-Juâ lapar, yakni jangan terlalu banyak makan, karena banyak makan menimbulkan malas dan mengantuk[5]. 4 Husain bin Mansuh Al-Hallaj Husain bin Mansuh Al-Hallaj lahir di Persia pada tahun 244 H/858 M, yang sebelumnya ia beragama Majusi, kemudian masuk Islam dan terkenal dengan julukan Abu Mughis. Al-Hallaj adalah seorang yang memiliki riwayat yang luar biasa dalam bidang tasawuf. Pandangannya sempat membuat ramai di dunia fiqih, sebab pada masa itu terjadi pertentangan antara ulama fiqih dengan ulama tasawuf karena faktor salah dalam memahami konsep tasawuf. Ada ratusan ulama fiqih pada saat itu menentang ajaran tasawufnya sehingga pada akhir hidupnya dijatuhi hukuman mati. Secara ringkasnya, ajaran tasawuf Al-Hallaj terdiri dari tiga hal, antara lain a Hulul, berarti ketuhanan lahut menjelma ke dalam diri manusia nasut. Hal ini akan terjadi ketika kebatinan seorang manusia sudah suci bersih di dalam menempuh perjalanan dalam hidup kebatinan, maka tingkat hidupnya akan naik dari maqam tingkatan ke maqam yang lain, misalkan dari muslimin, mukminin, shalihin, dan muqarrabin. Pada maqam muqarrabin, orang sudah sangat dekat dengan Tuhan sehingga timbullah penyatuan dirinya dengan Tuhan. b Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan perantaranya lah seluruh alam ini dijadikan. Menurut Al-Hallaj, Nabi Muhammad itu terdiri dua rupa Yang pertama adalah yang qadim, yaitu terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Yang kedua adalah yang berupa manusia, yakni sebagai Nabi dan Rasul. Rupa yang kedua manusia/Nabi/Rasul ini akan menempuh kematian, dan rupa yang pertama bersifat qadim. Rupa yang pertama inilah yang oleh Al-Hallaj sebagai asal-usul segala sesuatu. c Wihdatul Adyan, yaitu kesatuan segala agama. Ia berpendapat bahwa semua agama, baik Islam, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain, meski berbeda dalam hal nama, namun pada hakikatnya adalah satu. Orang memilih suatu agama atau lahir dalam suatu agama bukan atas dasar kehendaknya sendiri, melainkan sudah ditentukan oleh Allah Swt melalui takdir-Nya[6]. 3. Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah Kematian Al-Hallaj di atas tiang kayu palang telah menyebabkan kesan yang sangat tidak baik terhadap tasawuf. Salah kaprahnya para sufi dalam memahami tasawuf pada abad sebelumnya menyebabkan pertarungan sengit antara ulama fiqih dengan para sufi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ditambah lagi pada masa itu berkembang mazhab Syiâah Ismailiyah dengan konsep imamah-nya yang mampu mendekatkan para sufi dengan kaum Syiâah. Sehingga mendekatnya kaum sufi dengan kaum Syiâah menyebabkan semakin buruknya pandangan ulama fiqih terhadap tasawuf[1]. Atas sebab itulah, tasawuf pada abad V Hijriyah mengadakan konsolidasi. Sebab pada masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi, dan dimenangkan oleh tasawuf sunni. Kemenangan tasawuf sunni dikarenakan menangnya aliran teologi Ahlus Sunah Wal Jamaâah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asyâari, yang mengkritik keras terhadap teori Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang nampak bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung mengadakan pembaharuan[2]. Pada masa ini pula, filsafat dan ilmu kalam berkembang dengan pesatnya, yang lambat laun ajaran tasawuf sudah mulai kemasukan filsafat. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya Tarikhul Islamâ menerangkan bahwa tasawuf Islam berkembang dengan pesatnya di kalangan kaum muslimin, khususnya di kalangan orang-orang Persi yang masuk Islam. Dalam perkembangannya yang terakhir, tasawuf Islam telah bersatu dengan ajaran filsafat, sehingga menjadi satu model yang dinamakan Filsafat Tasawuf. Filsafat tasawuf merupakan perpaduan antara ajaran-ajaran Neo-Platonisme, dan di pihak lain dengan ajaran Persia dan India[3]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Kelima Hijriyah Ada beberapa tokoh sufi besar pada masa ini, antara lain Abu Hamid al-Ghazali, Syaikh Ahmad Al-Rifaâi, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili, Abu Al-Abbas Al-Mursi, dan Ibnu Athaâillah Al-Sakandari. Namun ulasan tentang tasawuf pada masa kelima Hijriyah ini lebih menitikberatkan pada konsep tasawuf Al-Ghazali. Sebab â menurut hemat kami -, Al-Ghazali adalah seorang sufi yang terkenal dan terbesar pada masa itu, dan memiliki konsep tasawuf yang paling jelas dan mencerminkan kondisi pada saat itu. Al-Ghazali, memiliki nama asli Abu Hamid Al-Ghazali, lahir di desa yang bernama Thus pada tahun 450 H/1057 M, dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Al-Ghazali hidup pada zaman Nizamul Mulk, seorang menteri besar kerajaan Bani Saljuk. Sosok Al-Ghazali sebagai seorang pemikir yang besar telah mempererat kembali segala perselisihan dan pertikaian yang telah timbul, terutama antara para sufi dengan ulama fiqih. Sebelum Al-Ghazali, para ulama mutakallimin ilmu kalam telah mengambil beberapa cara berpikir kaum filsafat dalam menguatkan dasar ilmu kalam teologi. Filsafat yang dipelajarinya hanya semata-mata untuk menguatkan dasar-dasar ilmu kalam. Al-Ghazali memandang, cara pengambilan yang demikian itu sangat dangkal, sebab orang hanya tertarik dengan ujung-ujung filsafat, tetapi tidak menggali hingga sampai kepada uratnya. Padahal menurut Al-Ghazali, kalau sekiranya digali sampai ke uratnya, filsafat tidaklah memperkokoh pendirian ketuhanan, melainkan akan menggoyahkannya. Terkait tasawuf, corak pemikiran tasawuf yang dimiliki Al-Ghazali mengedepankan pada psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama, Bidayatul Hidayah Pengantar Tasawuf, Al-Munziqu Minad Dhalal Pelepasan Diri Dari Kesesatan, Tahafutil Falasifah Kacau Balaunya Filsafat, dan sebagainya. Al-Ghazali mengkritik pola tasawuf pada masa sebelumnya bisa jadi karena kemasukan paham filsafat karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan tuhan. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya diucapkan dari hasil pemikiran yang kacau, hasil imaginasi sendiri. Selain kritikan tentang model orang-orang sufi sebelumnya, serta model berpikir para filsuf, Al-Ghazali memiliki sejumlah pemikiran yang masih berputar pada masalah kebatinan, secara garis besar antara lain 1 Terkait tasawuf dan filsafat Al-Ghazali tertarik kepada tasawuf karena menurutnya, yang ditekankan dalam tasawuf bukan semata-mata akal. Karena apabila hanya akal, maka yang ada hanyalah kebinasaan yang akan didapatinya. Artinya, dalam mempelajari filsafat, bukannya bertambah teguh imannya, malah menimbulkan keraguan. Oleh sebab itu kalau hanya mengandalkan akal, maka tidak akan dapat menemukan kebenaran, keadilan, kecintaan, dan keyakinan, sebab akal saja tidak dapat mencari nilai. Begitu pula tentang kesalahan yang didapat pada para ahli tasawuf seperti yang disebutkan sebelumnya, namun kesalahan ini masih dapat diperbaiki, asalkan ada dua perkara yang tidak boleh dipisah, yakni Ilmu dan Amalâ. 2 Konsep Maârifat Maârifat menurut Al-Ghazali, bukan hanya didapat dengan akal. Ilmu yang sejati atau maârifat yang sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Dari sini Al-Ghazali mengenalkan konsep Hadrat Rububiyah, yaitu wujud Tuhan meliputi segala wujud. Tidak ada wujud melainkan Allah dan perbuatan Allah. Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Pendapat Al-Ghazali ini menunjukkan pendiriannya yang berbeda dengan para sufi sebelumnya, seperti Al-Hallaj melalui paham Wihdatul Wujud-nya. 3 Tingkatan manusia Menurut Al-Ghazali, kecerdasan dan kesanggupan akal manusia itu tidaklah sama. Dalam dunia ini pasti ada orang awam dan orang khawash. Al-Ghazali memberi nasihat kepada orang awam yang belum sanggup berpikir seperti orang khawash untuk tidak perlu memasuki pada persoalan yang rumit dan dalam, yang justru akan menimbulkan keraguan dalam hatinya sendiri. Cukuplah bagi orang awam itu berpegang dengan Al-Qurâan dan Sunnah, tidak perlu banyak tanya, dan tidak perlu mentaâwilkan dalil yang dalam pemahamannya. Tetapi orang yang sudah mencapai tingkat tinggi khawash, tidak lagi semata-mata berpegang pada kulit lahiriyahnya saja, tapi meningkat kepada yang lebih tinggi dari itu, yaitu ilmu yang lebih banyak dirasakan daripada dikatakan. Itu merupakan anugerah dari Allah, karena dia dapat menyaksikan yang haq yang diliputi Nur cahaya keyakinan. 4 Iman dan yakin Dari tingkatan manusia di atas, maka Al-Ghazali membagi iman dan yakin menjadi tiga tingkatan a Iman orang awam Orang awam itu mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya b Iman orang alim Orang alim itu orang yang mendapat kepercayaan dari jalan membanding, meneliti, dan memeriksa dengan segenap kekuatan akal dan mantiq-nya intelektualisme. c Iman orang arifin Orang arifin itu orang yang beriman dan tumbuh keyakinan setelah menyaksikan sendiri akan kebenaran itu tanpa adanya tabir/penghalang. 5 Bahagia Manusia memiliki sifat ingin tahu, karena manusia lahir di dunia ini berawal dari ketidaktahuan laa taâlamuuna syaiâan. Apabila manusia mengetahui suatu hal yang belum diketahui, maka terasa senang lah hatinya. Kesenangan itu ada dua lazaat kepuasan dan saâadah kebahagiaan. Bila seseorang bertambah banyak yang diketahuinya, maka bertambah naiklah tingkat kepuasan dan bertambah dalam rasa kebahagiaan. Itulah sebabnya orang yang lebih luas pengetahuannya akan lebih berbahagia daripada orang yang kurang berpengetahuan. Dan puncak tertinggi dari rasa puas dan bahagia ialah maârifatullah mengenal Allah Swt Demikianlah pemikiran tasawuf Al-Ghazali, yang akhirnya membuka jalan baru bagi tasawuf Islam. Konsep tasawuf Al-Ghazali ini bahkan menjadi ilmu baru yang bukan hanya bagi umat Islam, namun juga orang-orang Nasrani pada abad-abad pertengahan. Al-Ghazali dalam tasawufnya juga berhasil menggabungkan rasa keindahan dan cinta, yang akhirnya menghasilkan seni yang hidup dalam Islam. Hal ini nampak pada seni arsitektur seperti pada menara masjid, kubah masjid, ukiran Al-Qurâan, pada syair-syair yang merdu dan mendalam dari para sufi abad-abad berikutnya, seperti Jalaluddin Rumi, dan lain-lain[4]. 4. Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah Pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya Tarikhul Islamâ menamainya sinkretisme filsafat dengan tasawuf. Sehingga dalam hal ini, perjalanan tasawuf masih sama seperti pada abad V Hijriyah. Ditambah lagi adanya akibat dari besarnya pengaruh Tasawuf Al-Ghazali yang berhasil mengkompromikan ilmu kebatinan dengan filsafat. Teorinya mengenai hakikat bukan semata-mata dengan akal, namun juga dengan perasaan. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat obyek utama dan menurut Abu Al-Wafa bisa dijadikan karakter sufi falsafi, yaitu 1 Latihan rohaniah riyadhah dan perjuangan batin mujahadah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi. 2 Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib. 3 Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. 4 Munculnya ungkapan-ungkapan baru atau istilah-istilah yang pengertiannya masih samar-samar, seperti kasyaf tirai penyingkap, tajalli Tuhan telah jelas dan nyata, wihdatul muthlaqah kesatuan yang mutlak, hulul penjelmaan Tuhan ke dalam hamba, dan ittihad persatuan antara hamba dengan tuhan[1]. b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah Ada beberapa tokoh sufi pada masa ini, antara lain Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi, Muhyiddin Ibnu Arabi, Umar Ibnu Faridh, dan Abd Al-Haqqi ibn Sabiâin. Dari keempat tokoh sufi di atas, yang paling terkenal ialah Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi dan Muhyiddin Ibnu Arabi. Beberapa tokoh sufi terkenal ini akan diulas secara garis besar berikut 1 Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi Ia dikenal dengan nama lain Asy-Syaikh Al-Maqtul Syaikh yang mati terbunuh, dan memiliki gelar Al-Muâayyad bil Malakutâ mendapat sokongan dari alam malakut. Mula-mula ia belajar filsafat dan ushul fiqih kepada Syaikh Imam Majdudin Al-Jaili di Aleppo, dan banyak bergaul dan bertukar pikiran dengan para ulama disana. Lantaran pemikirannya yang sangat bebas, akhirnya timbul pertentangan dengan para ulama fiqih sehingga ia dituduh zindiq dan ilhad tidak bertuhan/keluar dari agama. Kemudian para ulama fiqih meminta kepada Sultan Salahuddin Al-Ayyubi Saladin yang terkenal untuk menangkapnya dan dijatuhi hukuman mati. Setelah mendengar desakan dari para ulama fiqih tersebut, maka Sultan mengutus anaknya, Malik Az-Zahir, untuk menanngkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara. Setelah berada di penjara, Al-Syuhrawardi tidak mau makan dan minum sampai meninggal pada tahun 587 H/1191 M. Al-Syuhrawardi telah mempelajari filsafat kuno seperti filsafat India, Persia, dan Yunani. Setelah mendalami beberapa filsafat tersebut, maka ia berkesimpulan bahwa para filsuf adalah orang-orang dari satu keluarga. Seperti para filsuf dari Yunani, India, dan Persia, semuanya berjalan menuju satu maksud dan berlindung di bawah satu bendera, yakni filsafat Isyraq, yakni menuntut cahaya kebenaran dari cahayanya segala cahaya, yaitu Allah. Dalam kitabnya Hayakilun Nurâ, ia menerangkan perlawanan antara Nur cahaya, merujuk pada rohani dengan zulumat kegelapan, merujuk pada benda. Berbagai kekuatan akal dinamai dengan Anwar banyak cahaya. Akal yang mengatur perjalanan falak dinamainya Anwarul Qahirah cahaya yang menguasai. Jiwa manusia dinamainya Anwarul Mujarradah cahaya yang semata-mata. Allah dinamainya Nurul Anwar cahaya dari segala cahaya. Jizim tubuh dinamainya Jauharul Muzlim benda yang gelap, sedangkan alam Ajzam dinamakan Barzakh. Dari sini, Al-Syuhrawardi berusaha menjelaskan dasar filsafat tasawuf yang dimilikinya, yakni Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari nur Allah akan melahirkan nur-nur yang lain, baik alam yang maddi nampak atau alam rohani. Dari kekuatan tersebut kemudian menggerakkan segala falak dan mengatur akan segala aturannya. Terkait penuntut hikmah, Al-Syuhrawardi membaginya menjadi tiga macam a Ahli Filsuf, yang hanya mempergunakan akal semata. b Ahli Tasawuf, yang ingin mencari Tuhan. c Ahli filsuf ketuhanan, yakni yang menggunakan akal dan mementingkan rasa untuk mencapai tujuan, yaitu Allah. Inilah yang paling tinggi nilainya[2]. 2 Muhyiddin Ibnu Arabi Nama lengkapnya Abu Bakar Muhyiddin Muhammad bin Arabi At-Thai Al-Haitami Al-Andalusi. Lahir di Mercia, Spanyol pada tahun 598 H/1102 M. Pada mulanya, Ibnu Arabi menuntut ilmu fiqih dalam mazhab Zahiri di Avilla, kemudian dilanjut dengan mencari ilmu kepada guru-guru yang sudah banyak terpengaruh oleh filsafat Neo-Platonisme yang sedang berkembang di Andalusia pada saat itu. Ia memiliki konsep filsafat tasawuf yang hampir sama dengan Al-Syuhrawardi, yaitu gabungan antara perasaan jiwa dengan renungan akal. Karyanya juga banyak, salah satunya ialah Al-Futuhat Al-Makiyahâ, yang berisi pendirian dan buah renungan dari Ibnu Arabi. Perihal konsep tasawuf, Ibnu Arabi memiliki tiga ajaran pokok, yaitu a Wihdatul Wujud Pantheisme Bagi Ibnu Arabi, wujud itu hanya satu, wujud makhluk adalah wujud khalik Al-khaliq huwal makhluq, wal makhluq huwal khaliq. Tidak ada perbedaan di antara yang qadim eternal yang disebut Khalik dengan yang baru yang disebut makhluk. Perbedaan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat yang satu, karena itu keduanya mempunyai sifat yang sama. Singkatnya bagi Ibnu Arabi, hamba itu Tuhan dan Tuhan itu hamba. b Al-Haqiqatul Muhammadiyah/Nur Muhammad Kalau Al-Hallaj adalah peletak dasar teori Nur Muhammad, maka Ibnu Arabi adalah seseorang yang memperluas dan mengembangkan teori tersebut. Bagi Ibnu Arabi, Allah itu adalah sesuatu dan satu. Dialah wujud yang mutlak. Maka nur cahaya Allah itu sebagian dari dirinya. Itulah hakikat Muhammadiyah. Maka Nur Muhammad itu juga bersifat qadim, sebagian dari sesuatu dan satu. Apabila Muhammad telah mati tubuhnya, namun Nur Muhammad atau hakikat Muhammadiyah itu tetaplah ada. Jadi, Allah â Adam â Muhammad adalah satu. c Wihdatul Adyan Kesatuan Agama Sama seperti Al-Hallaj, Ibnu Arabi berkata, âModel penyembahan yang bermacam-macam agama dengan secara khusus menurut agamanya saja, tidak diragukan lagi hal itu adalah kebodohan karena dianggap berpaling dari Tuhan yang disembah mereka. Adapun Tuhan yang mutlak tidak memberi lapangan tertentu pada sesuatu karena Dia sendiri adalah ain-nya sesuatu ituâ. Dengan demikian menurut pandangan Ibnu Arabi, Tuhan itu bukan hanya terbatas pada Tuhannya orang Islam, tetapi juga meliputi Tuhannya setiap agama. Sebab pada hakikatnya, setiap yang disembah itu adalah Tuhan juga. Bila sebelumnya pertentangan antara ulama fiqih dengan kaum sufi berada pada puncaknya pada abad III Hijriyah melalui Al-Hallaj, maka dengan munculnya sosok Ibnu Arabi ini, pertentangan lama kembali bangkit dengan hebatnya. Terkait Al-Hallaj, kemungkinan besar masih dapat dimaafkan atau minimal dimaklumi adanya karena perkataan yang diucapkannya itu dalam keadaan sakar mabuk kepayang meski pada akhir hayatnya ia dihukum mati. Namun untuk Ibnu Arabi, yang dipandang sebagai seorang yang berilmu, berfilsafat, dan bertasawuf, maka para ulama fiqih tidak dapat membiarkannya begitu saja. Banyak para ulama besar yang menentang paham tasawuf milik Ibnu Arabi ini melalui fatwa-fatwanya, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Hajar Al-Aqshalani, Ibrahim Al-Biqaâi[3]. 5. Tasawuf di Tanah Persia Masuknya agama Islam di tanah Persia dengan sendirinya telah berjasa mengembangkan kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan bangsa Persia. Begitu halnya dengan tasawuf, yang berkembang cepat dan menjadi bahan atau sendi yang tidak dapat dipisahkan lagi dari perkembangan seluruh tasawuf Islam. Boleh dikatakan bahwa setelah bahasa Arab, bahasa Persia juga berperan penting dan besar pengaruhnya dalam membantuk tasawuf dan filsafat Islam serta pandangan hidup mereka. Islam tumbuh dan memiliki corak ke-Persia-annya sejak abad ketiga Hijriyah. Dalam perkembangannya, filsafat dan tasawuf di Persia menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab dan bahasa Pahlevi Persia. Pengaruh tasawuf di Persia ini cukup besar, dan berkembang hingga ke Turki, India, dan Afghanistan. Sampai sekarang yang kurang lebih tahun lebih kebudayaan Persia-Islam masih hidup dengan suburnya. Berkat perkembangan kebudayaan di Persia lah, banyak muncul para ulama besar, filsuf terkenal, serta para sastrawan, seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, serta ahli bahasa yang bernama Sibawaihi. Singkatnya, dalam perkembangan tasawuf, Persia telah memberikan jasa yang besar, bahkan ada yang mengatakan bahwa ilmu tasawuf belum mencapai tingkat kepuasan bila belum mendalami tasawuf dari Persia. Hubungan antara Islam-kebudayaan Persia yang terjalin erat di masa lalu akhirnya putus setelah Persia sekarang Iran mendeklarasikan dirinya menggunakan paham Syiâah sebagai mazhab kerajaan/Negara. Padahal mayoritas umat Islam di dunia menganut paham Ahlus Sunnah. Namun sekali lagi, pengaruh tasawuf Persia amat besar dalam dunia Islam. Di Indonesia sendiri, pengaruh tasawuf Persia lebih dahulu datang daripada pengaruh tasawuf atau ajaran Islam dari tanah Arab. Thariqat yang terkenal di Indonesia, thariqat Naqsyabandiyah, adalah salah satu thariqat tasawuf yang berasal dari Persia. Kata Naqsyabandiâ sendiri berasal dari bahasa Persia. Kebanyakan ajaran-ajaran tasawuf di Persia ini dalam bentuk syair, yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf di tempat-tempat lain. Adapun para tokoh sufi dari Persia antara lain Abu Said 258 H/827 M â 440 H/1049 M, Jalaluddin Rumi 604 H/1217 M â 672 H/1273 M, Abdullah Al-Anshari 396 H/1066 M â 481 H, Majdudin Sinai w. 545 H/1221 M, Fariduddin Al-Athar, Hafiz Al-Syirazi, Abdurrahman Al-Jami. Abu Said 258 H/827 M â 440 H/1049 M adalah seorang sufi pertama dalam tasawuf Persia. Ia berasal dari Khurasan, dan mula-mula belajar Al-Qurâan dan bahasa Arab di kampungnya, kemudian pindah ke kota Marwa untuk mempelajari ilmu fiqih dengan seorang yang bernama Abu Abdullah dan Abu Bakar Al-Qaffal. Selanjutnya pindah ke kota Sarkhas untuk mendalami ilmu-ilmu lain seperti tafsir, hadits, dan ushul fiqih dengan Abu Ali Zahir bin Ahmad, dan terakhir ia kembali mempelajari sufi di bawah bimbingan Abu Fadhal. Terkait tasawuf, Abu Said selalu menggunakan dalil Al-Qurâan dan Hadits, dan juga syair-syair dalam ceramah-ceramahnya. Ia adalah seorang yang pertama mendirikan halaqah dzikir dengan cara menari-nari. Karena perbuatannya itulah, dia dilaporkan oleh ulama Naisabur kepada Sultan di Gaznah. Sultan juga mengundang para ulama dari mazhab Syafiâi dan Hanafi untuk mengevaluasi ajaran Abu Said, namun Abu Said terbebas dari hukuman. Tokoh sufi terkenal selanjutnya, Jalaluddin Rumi 604 H/1217 M â 672 H/1273 M, adalah seorang sufi besar sekaligus pujangga hebat di masanya. Ia memiliki nama lengkap maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad bin Husin Al-Khathbi Al-Bakri. Ia dilahirkan di Balkh Persia, dan pada usia empat tahun ia dibawa ayahnya ke Asia kecil Romawi. Itulah sebabnya identitasnya memakai nama Rumiâ. Sama dengan Abu Said, ia memiliki paham Wihdatul Wujud. Di samping itu, ia memiliki teori Evolusi, persis teori yang dicetuskan oleh Charles Darwin. Hanya saja perbedaannya, Jalaluddin Rumi mengakui adanya Allah. Ia telah menulis kitab tasawuf yang bernama Matsnawiâ, berupa kumpulan syair-syair yang terdiri dari bait syair. Kitab tersebut terdiri dari enam jilid, yang semuanya itu merupakan pendiriannya tentang tasawuf yang berdasarkan paham Wihdatul Wujud. Selain itu, paham-paham tasawuf Jalaluddin Rumi antara lain a. Alam dan Tuhan Jalaluddin Rumi memiliki teori Evolusi, yang menurutnya alam itu berevolusi. Asal mula sesuatu itu dari zarrah atom, kemudian meningkat menjadi tumbuh-tumbuhan, kemudian naik lagi menjadi hewan, lalu naik lagi menjadi manusia, lalu dari manusia naik menjadi malaikat, setelah itu kelak langsung fanaâ ke dalam Allah, akhirnya menjadi baqaâ. Kematian menurutnya hanya semata-mata perpindahan menuju suatu tingkat ke tingkat selanjutnya. Disinilah maka dapat diketahui paham Wihdatul Wujud-nya Jalaluddin Rumi, yakni apabila fanaâ tercapai maka kekallah baqaâ alam itu dengan Tuhan. Atau singkatnya, mati itu hanya perpindahan bentuk alam menuju fanaâ ke dalam Tuhan. b. Nyawa Kaum sufi termasuk Jalaluddin Rumi memahami bahwasanya nyawa/ruh ini datang dari alam lain ke dunia, dan terkurung dalam badan/jasmani di bumi. Nyawa yang terperangkap atau terpenjara di dalam jasad ini suatu saat akan kembali ke tempat asalnya QS. 89 27-28. c. Takdir dan Ikhtiar Pandangannya tentang takdir dan ikhtiar sangat berbeda dengan pendapat mayoritas ahli tasawuf lainnya, yang lebih mendekati paham Jabariyyah fatalisme. Menurut Jalaluddin Rumi, seseorang itu tidak boleh menyerah dan tunduk begitu saja dengan takdir itu. Hidup itu harus terus diperjuangkan. Manusia dihidupkan di dunia ini dengan penuh kebebasan. Dia mesti berusaha sendiri dengan mengisi kebahagiaan hidupnya dan memberi nilainya. Terkait kemunduran tasawuf di tanah Persia, suatu ketika berdirilah Kerajaan Safawi pada tahun 907 H/1502 M. kerajaan ini berhasil menyatukan seluruh negeri Persia di bawah satu pemerintahan besar yang bergelar Syahin Syahâ Sri Maharaja diraja. Ketika kerajaan dipimpin oleh Syah Ismail, ia menyatakan bahwa mazhab resmi kerajaan adalah Syiâah. Ia sangat membenci hal-hal yang berbau Ahlus Sunnah. Sebagai dampaknya, ia juga membenci tasawuf. Ia menyarankan kepada semua ahli sufi ketika mengarang syair, hendaklah memasukkan segala hal yang menyangkut propaganda Syiâah, seperti memuja-muja Husein. Meski begitu, kebencian Syiâah terhadap para sufi yang begitu dalam membuat banyak ahli sufi yang dikejar-kejar. Banyak ulama Ahlus Sunnah dan ahli sufiyah yang disiksa dan dibunuh. Dari sinilah yang kemudian tasawuf di Persia semakin berkurang dan hilang[1]. 6. Tasawuf Pada Abad Kedelapan Hijriyah Masa Menurunnya Tasawuf Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan tasawuf kian jelas, yang disebabkan seringnya terjadi penyelewengan dan pemikiran ganjil dalam diri kaum sufi dan sekaligus mengancam kehancuran reputasi baik ilmu tasawuf. Tasawuf pada waktu itu telah termasuki bidâah, khurafat, mengabaikan syariâat, hukum-hukum moral, dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, membentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, azimat dan ramalan serta kekuatan gaib ditonjolkan. Ada masa ini, muncullah revivalis Islam, Syaikh Ibnu Taimiyah w. 727 H/1329 M, yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. Dia dikenal kritis, peka terhadap lingkungan sosialnya, polemis dan berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut. Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran Ittihad, Hullul, dan Wahdat AlâWujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran atheisme. Ibnu Taimiyah membagi fanaâ menjadi tiga bagian fanaâ ibadah, fanaâ syuhud al-qalb, dan fanaâ wujud ma siwa Allah. Terhadap fanaâ pertama dan kedua, masih dalam batas kewajaran, baik ditinjau dari segi psikologis maupun agamis. Sedangkan fanaâ ketiga dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan dianggap kufur. Ibnu Taimiyah cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan di masa modern sekarang. Penyebab mundurnya tasawuf di dunia Islam pada abad ini antara lain a. Pada masa itu adalah masa suram-suramnya cahaya perasaan dan pemikiran karena ada rasa keputusasaan dalam dunia Islam. Hal ini dikarenakan Baghdad sebagai jantungnya ilmu pengetahuan telah dihancurkan oleh bangsa Mongol. Ditambah lagi kekuasaan Islam berpindah ke Asia Kecil Turki oleh Turki Utsmani. Sejak itulah pelita timur lambat laun redup. b. Bangsa Barat mengalami zaman Renaissance yang mendorong kemajuan bangsa Barat dalam mengambil alih peradaban dunia. c. Umat Islam hanya bertaklid dalam segala bidang ilmu, yaitu menurut saja kepada apa yang ditulis dan dijelaskan oleh orang-orang terdahulu. Tidak hanya tasawuf, kondisi taklid ini juga terjadi pada beberapa bidang ilmu, seperti ilmu fiqih, Al-Qurâan, hadits, dan teologi kalam. Lebih lanjut dengan semakin surutnya perkembangan tasawuf pada abad VIII Hijriyah ini, maka tidak ada lagi pemikiran baru dalam dunia tasawuf. Meski ada beberapa ahli sastrawan sufi seperti Al-Kassyani atau Al-Kisani w. 739 H/1321 M yang telah banyak menulis buku-buku tentang tasawuf, namun dia tidak mengeluarkan pendapat yang baru. Ada pula seorang sufi besar pada abad ini yang bernama Abdul Karim Al-Jaili, seorang pengarang kitab Insan Kamilâ. Isi bukunya sempat membuat gempar para ulama fiqih, karena isinya memperindah konsep-konsep pikiran Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Di dalam abad kesepuluh Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang besar di Mesir, yaitu Abdul Wahab Syaârani. Ia memiliki banyak karangan, namun sebagian besar isinya sulit diterima oleh rasa, harus memakai akal. Kemudian di abad keduabelas Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang bernama Abdul Ghani An-Nablusi w. 1143 H/1735 M, seorang pengikut Ibnu Arabi[1]. DAFTAR RUJUKAN Al-Barsany, Noer Iskandar. 2001. Tasawuf Tarekat Para Sufi Jakarta Raja Grafindo Persada. Hamka. 1980. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta Yayasan Nurul Islam. Sjukur, Asjwadie. 1978. Ilmu Tasawuf 1. Surabaya Bina Ilmu. Syukur, Amin dan Masyharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta Pustaka Pelajar CATATAN KAKI FOOTNOTE [1] Ibid, hlm. 188-193. [1] Ibid, hlm. 160-187. [1] Amin Syukur dan Masyharuddin, hlm. 25-28; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 60. [2] Hamka, hlm. 140-143 [3] Ibid, hlm. 143-151. [1] Ibid, hlm. 55-56. [2] Amin Syukur dan Masyaruddin, hlm. 25-26. [3] Asjwadie Sjukur. hlm. 56. [4] Hamka, hlm. 123-136; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 55-59. [1] Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 21-23. [2] Lihat Asjwadie Sjukur, hlm. 42; dan Amin Syukur dan Masyaruddin, hlm. 24-25. [3] Hamka, hlm. 93-95. [4] Hamka, hlm. 96-97; dan Asjwadie Sjukur. hlm. 44-45. [5] Asjwadie Sjukur. hlm. 45-46. [6] Ibid, hlm. 49-55. [1] Ibid, hlm. 39-40. [2] Ibid, hlm. 40-41. [3] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya Jakarta Yayasan Nurul Islam, 1980, hlm. 78-79. [1] Asjwadie Sjukur, Ilmu Tasawuf 1 Surabaya Bina Ilmu, 1978, hlm. 32-35. [2] Ibid, hlm. 35-39. [1] Ibid. [1] Lihat Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf Tarekat Para Sufi Jakarta Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 8-14. [2] Ibid.
â Tasawuf merupakan perwujudan dari salah satu ketiga pilar syariâat tersebut, yakni Ihsan. Tasawuf adalah bagian dari syariâat Islam, atau dengan kata lain bahwa Syariâat Islam juga memuat ajaran tentang tasawuf. Dengan ini, maka mendeiskrditkan tasawuf atau kajian atasnya merupakan hal yang kurang benar, sebab mereka dalam syariâat Islam menduduki porsi dan posisi yang sama dengan kedua pilar Islam lainnya. Namun yang ironis, dalam realitanya penganaktirian tersebut terjadi, baik dengan memberikan stereotip negative terhadapnya maupun meninggalkan kajian mendalam atasnya. Mereka lebih suka dan nyaman mengkaji fiqih Islam dan kalam atau tauhid Iman. Istilah tasawuf tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Istilah itu baru muncul ketika Abu Hasyim al- Kufy w. 250 H meletakkan kata al-Sufi dibelakang namannya pada abad ke 3 Hijriyah. Menurut Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur, sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, tawakkal, dan dalam mahabbah, namun mereka tidak menggunakan atau mencantumkan kata al-sufi. Jadi tetap Abu Hasyim orang yang pertama memunculkan istilah itu. Sejarah Masa Pembentukan Tasawuf Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pada masa awal Islam [nabi dan khulafaur Rasyidin] istilah tasawuf belum dikenal. Meski demikian, bukan berarti praktek seperti puasa, zuhud, dan senadanya tidak ada. Hal ini dibuktikan dengan perilaku Abdullah ibn Umar yang banyak melakukan puasa sepanjang hari dan shalat atau membaca al-Qurâan di malam harinya. Sahabat lain yang terkenal dengan hal itu antara lain Abu al-Darda, Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul ibn Zaubaid, dan Kahmas al-Hilali. Pada paruh kedua Abad ke-1 Hijriyah, muncul nama Hasan Basri 642-728M, seorang tokoh zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Hasan Basri tampil pertama dengan mengajarkan ajaran khauf takut dan rajaâ berharap, setelah itu diikuti oleh beberapa guru yang mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohaniahan dikalangan muslimin. Ajaran-ajaran yang muncul pada abad ini yakni khauf, rajaâ, juâ sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur, zuhud menjauhi dunia khalwat menyepi, shalat sunnah sepanjang malam dan puasa disiang harinya, menahan nafsu, kesederhanaan, memperbanyak membaca al- Qurâan dan lain-lainnya. Para zahid ketika ini sangat kuat memegang dimensi eksteral Islam Syariâah dan pada waktu yang sama juga menghidupkan dimensi internal Bathiniyyah. Kemudian pada abad II Hijriyah, muncul zahid perempuan dari Basrah-Irak Rabiâah al-Adawiyah w. 801M/185 H. Dia memunculkan ajaran cinta kepada Tuhan Hubb al-Ilah. Dengan ajaran ini dia menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah Swt tanpa atau menghilangan harapan imbalan atas surga dan karena takut atas ancaman neraka. Pada abad ini tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni bercorak kezuhudan. Meski demikian, pada abad ini juga mulai muncul beberapa istilah pelik yang antara lain adalah kebersihan jiwa, kemurnian hati, hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan usaha sendiri, berdiam diri, melakukan safar, memperbanyak dzikir dan riyadlah. Tokoh yang mempernalkan istilah ini antara lain Ali Syaqiq al-Balkhy, Maâruf al- Karkhy dan Ibrahim ibn Adham. Sejarah Masa Pengembangan Tasawuf Masa pengembangan ini terjadi pada kurun antara abad ke-III dan ke-IV H. Pada kurun ini muncul dua tokoh terkemuka, yakni Abu Yazid al-Bushthami H. dan Abu Mansur al-Hallaj w. 309 H.. Abu Yazid berasal dari Persia, dia memunculkan ajaran fanaâ lebur atau hancurnya perasaan, Liqaâ bertemu dengan Allah Swt dan Wahdah al-Wujud kesatuan wujud atau bersatunya hamba dengan Allah Swt. Sementara Al-Hallaj menampilkan teori Hulul inkarnasi Tuhan, Nur Muhammad dan Wahdat al-Adyan kesatuan agma- agama. Selain itu, para sufi lainnya pada kurun waktu ini juga membicarakan tentang Wahdat al-Syuhud kesatuan penyaksian, Ittishal berhubungan dengan Tuhan, flamal wa Kamal keindahan dan kesempurnaan Tuhan, dan Insan al-kamil manusia sempurna. Mereka mengatakan bahwa kesemuanya itu tidak akan dapat diperoleh tanpa melakukan latihan yang teratur Riyadhah. Selain munculnya tasawuf yang cenderung pada syathahiyat, sejenis ungkapan-ungkapan ganjil atau ekstatik, dan semi-falsafi yang dimandegani oleh dua tokoh di atas, pada kurun ini juga mulai muncul gerakan banding yang dimandegani oleh Syeikh Junaid al- Baghdadi. Dia memagari ajaran-ajaran tasawufnya dengan al-Qurâan dan al-Hadis dengan ketat dan mulai meletakkan dasar-dasar thariqah, cara belajar dan mengajar tasawuf, syeikh, mursyid, murid dan murad. Dengan kata lain, pada kurun ini muncul dua madzhab yang saling bertentangan, yakni madzhab tasawuf Sunni al-Junaid dan madzhab Tasawuf semi-Falsafi Abu Yazid dan al-Hallaj. Perlu diketahui pula bahwa pada kurun ini tasawuf mencapai peringkat tertinggi dan jernih serta memunculkan tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi panutan para sufi setelahnya. Masa Konsolidasi Tasawuf Masa yang berjalan pada kurun abad V M. ini sebenarnya kelanjutan dari pertarungan dua madzhab pada kurun sebelumnya. Pada kurun ini pertarungan dimenangkan oleh madzhab tasawuf Sunni dan madzhab saingannya tenggelam. Madzhab tasawuf Sunni mengalami kegemilangan ini dipengaruhi oleh kemenangan madzhab teologi Ahl Sunnah wa al-flamaâah yang dipelopori oleh Abu Hasan al- Asyâari w. 324 H. Dia melakukan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid dan al-Hallaj sebagaimana yang tertuang dalam syathahiyat mereka yang dia anggap melenceng dari kaidah dan akidah Islam. Singkatnya, kurun ini merupakan kurun pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasan awalnya, al-Qurâan dan al-Hadis. Tokoh-tokoh yang menjadi panglima madzhab ini antara lain Al- Qusyairi 376-465 H, Al-Harawi w. 396 H, dan Al-Ghazali 450- 505H. Al-Qusyairi adalah sufi pembela teologi Ahlu Sunnah dan mampu mengompromikan syariâah dan hakikah. Dia mengkritik dua hal dari para sufi madzhab semi-falsafi, yakni syathahiyat dan cara berpakaian yang menyerupai orang miskin padahal tindakan mereka bertentangan dengannya. Menurut al-Qusyairi kesehatan batin dengan memegang teguh ajaran al-Qurâan dan al-Hadis lebih penting dripada pakaian lahiriyah. Tokoh kedua ialah Al-Harawi. Dia bermadzhab Hanabilah, maka tidak heran jika dia bersikap tegas dan tandas terhadap tasawuf yang dianggap menyeleweng. Hal yang dikritik oleh Al-Harawi atas ajaran tasawuf semi-falsafi adalah ajaran fanaâ yang dimaknai sebagai kehancuran wujud sesuatu yang selain Allah Swt. Kemudian dia memberikan pemaknaan baru atas fanaâ tersebut dengan ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan, Allah Swt. Selain itu, Al- Harawi juga mengkritik syathahiyat. Terkait ini dia menyatakan bahwa syathahiyat hanya muncul dari hati seseorang yang tidak tentram atau ketidaktenangan. Kemudian tokoh yang terakhir ialah Al-Ghazali. Dia merupakan tokoh pembela teologi sunni terbesar, bahkan lebih besar dibanding sang pendirinya, Abu Hasan Al-Asyâari. Al-Ghazali menjauhkan ajaran tasawufnya dari gnostis sebagaimana yang mempengaruhi para filosog muslim, sekte Ismaâiliyah, Syiâah, Ikhwan Shafa dan lain-lain. Ia juga menolak konsep ketuhanan Aristoteles, yakni emanasi dan penyatuan. Terkait teori kesatuan, al-Ghazali menyodorkan teori baru tentang maârifat dalam taqarrub ila Allah, tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Sejarah Masa Tasawuf Falsafi Pada masa abad VI dan VII H ini muncul dua hal penting yakni; Pertama, kebangkitan kembali tasawuf semi-falsafi yang setelah bersinggungan dengan filsafat maka muncul menjadi tasawuf falasafi, dan kedua, munculnya orde-orde dalam tasawuf thariqah. Tokoh utama madzhab tasawuf falasafi antara lain ialah Ibnu Arabi dengan wahdat al-Wujud, Shuhrawardi dengan teori Isyraqiyyah, Ibn Sabiân dengan teori Ittihad, Ibn Faridh dengan teori cinta, fanaâ dan Wahdat al-Syuhud-nya. Sementara orde-orde tasawuf yang muncul pada kurun ini terutama pada abad ke VII H antara lain 1 Tarekat Qadiriyyah, didirikan oleh Abd al-Qadir Jailani w. 1166 M. dan berpusat di Baghdad. 2 Tarekat Naqshabandiyah, didirikan oleh Muhammad ibn Bahaâ al-Din H. dan didirikan di Asia Tengah. 3 Tarekat Maulawiyah Rumiyah, didirikan oleh Jalal al-Din Rumi w. 1273 M, Persia. 4 Tarekat Bekhtasyiyah, didirikan oleh al- Bekhtasyi, Turki. 5 Tarekat Tijaniyah, oleh al-Tijani pada tahun 1781 M di Fez Maroko. 6 Tarekat Daraquiyah, oleh Maulana Arabi Darqawi w. 1823 M. di Fez-Maroko. 7 Tarekat Khalwatiyah, didirikan di Persia pada abad 13 M. 8 Tarekat Suhrawardiyah, oleh Suhrawardi al-Maqthul di Irak. 9 Tarekat Rifaâiyah, oleh al-Rifaâi w. 1187 M di Irak. 10 Tarekat Sadziliyah, oleh al-Sadzili w. 1258 M. di Tunis. 11 Tarekat Khishtiyah, oleh Muâin al-Din Chisthi di Ajmer- India. 12 Tarekat Sanusiyah, oleh al-Sanusi w. 18377 M di Libya. 13 Ttarekat Niâmatulahiyah, didirikan di Persia dan kemudian di India Ismaâiliyyah. 14 Tarekat Ahmadiyah, oleh Ahmad al-Badawi w. 1276 M. di Mesir dengan pusat di Tanta. Masa Pemurnian Menurut Arberry sebagaimana dikutip Amin Syukur, pada Ibn âArabi, Ibn Faridh, dan ar-Rumi adalah masa keemasan gerakan tasawuf baik secara teoritis maupun praktis. Pengaruh dan praktek- praktek tasawuf tersebar luas melalui tarekat-tarekat. Bahkan para sultan dan pangeran tidak segan-segan lagi mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi kepada mereka. Meski demikian, lama kelamaan timbul penyelewengan-penyelewengan dan skandal-skandal yang berakhir pada penghancuran citra baik tasawuf itu sendiri. Singkatnya, pada waktu itu tasawuf dihinggapi ,menurut pandangan Arberry, bidâah, khurafat, klenik, pengabaian Syariâat, hokum-hukum moral, dan penghinaan ilmu pengetahuan. Dengan fenomena di atas, munculah Ibn Taimiyah yang dengan lantang menyerang ajaran-ajaran yang dia anggap menyeleweng tersebut. dia ingin mengembalikan kembali tasawuf kepada sumber ajaran Islam, al-Qurâan dan al-Hadis. Hal yang dikritik Ibn Taimiyah antara lain ajaran Ittihad, hulul, wahdat al-Wujud, pengkultusan wali dan lain-lain yang dia anggap bidâah, khurafat, dan takhayyul. Dia masih memberikan toleransi atas ajaran fanaâ, namun dengan pamaknaan yang berbeda. Dia membagi fanaâ menjadi tiga bagian, yakni 1 fanaâ Ibadah, lebur dalam ibadah, 2 fanaâ syuhud al-Qalb, fanaâ pandangan batil, dan 3 fanaâ wujud mas Siwa Allah, fanaâ wujud selain Allah. Menurutnya, fanaâ yang masih sesuai dengan ajaran Islam ialah jenis fanaâ yang pertama dan kedua, sementara jenis fanaâ yang ketiga sudah menyeleweng dan pelakunya dihukumi kafir, sebab ajaran tersebut beranggapan bahwa wujud Khaliqâ adalah wujud Makhluq. Kemudian, secara garis besar, ajaran tasawuf Ibn Taimiyah tidak lain ialah melakukan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti madzhab tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan social sebagaimana kalayak umum. Baca juga Sejarah Tasawuf di Indonesia Demikian penjelasan tentang sejarah tasawuf. Semoga menabah wawasan saudara, aminâŚ.
SECARA historis tasawuf adalah pemandu perjalanan hidup umat manusia agar selamat dunia dan akhirat. Hal itu karena tasawuf menjadi salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Sejarah juga mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang baru muncul setelah masa sahabat dan tabiâin, tidak muncul pada masa Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa nabi kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat pada masa itu sangat stabil. Selain itu, dari sudut pandang akal, jasmani, dan rohani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya prakmatisme, materialisme, dan hedonisme. Tasawuf sebagai sebuah gerkan perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Nabi, para sahabat, dan para tabiâin pada hakikatnya sudah sufi. Mereka mempraktekkan selalu terhadap hal-hal yang tidak pernah mengagungkan kehidupanm dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat kepada Allah sebagai sang khaliq. Setelah kekuasaan Islam makin meluas dan terjadi perubahan sejarah yang fenomenal paska nabi dan sahabat. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani dan budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf sekitar abad ke 2 hijriyah. Gerakan tasawuf bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Menurut pengarang Kasaf al-Dzunnum, orang yang pertama kali dijuluki al-sufi adalah Abu Hasyim Al-sufi. Pada masa Rasulullah SAW Islam tidak mengenal aliran tasawuf, dan pada masa sahabat dan tabiâin generasi setelah sahabat mereka itu menuntut ilmu dari para sahabat. Kemudian datang setelah masa tabiâin suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakain shuff pakaian dari bulu domba. Maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama tarekatnnya tasawuf. Salah satu argumen yang mengatakan bahwa tasawuf sudah ada pada masa Rasulullah SAW adalah perilaku nabi yang sering melakukan tahannus di Gua Hiro sebelum turunnya wahyu. Pertapaan tersebut dilakukan rasul sebagai sebuah upaya untuk menenangkan jiwa, menyucikan diri sebagai persiapan untuk menerima sabda yang agung yaitu wahyu Al- Qurâan. Dalam proses itu rasul melakukan riyahah dengan bekal secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan dunia. Setelah menjalani proses tersebut jiwa rasul telah mencapai tingkat spiritual yang benar-benar siap menerima wahyu dari Jibril. Memasuki abad ke tiga dan ke empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak baru. Pada masa ini tema yang di angkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari perbincangan seputar akhlak dan pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antara keduanya dan dari sini muncul tema-tema semacam makrifat, fana, zauq. Dari realitas ini dapat disimpulkan bahwa tasawuf mulai menemukan identitasnya. Tasawuf mulai berkembang dan menjafi satu disiplin ilmu yang berbeda dengan fiqih, tafsir, hadits dan kalam. Memasuki abad ke 6 dan ke 7 hijriyah tasawuf kembali menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Bersentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul 2 parian tasawuf, sunni dengan coraknya amali dan falsafi dengan corak iluminatifnya.
sejarah perkembangan tasawuf dari abad 1 sampai 10